Mari tidak memperdebatkan bagaimana sebaiknya cinta itu diungkapkan. Tidak penting, plus tidak akan ada habisnya. Sudah tidak penting, tidak ada habisnya lagi. Terus buat apa diperdebatkan? Cinta itu ya cinta, titik!
Kemarin, saya menonton pertandingan Timnas Indonesia vs Timnas Oman. Tidak full time memang, karena saya hanya menonton 45 menit kedua. Satu gol tercipta, sayangnya yang kebobolan adalah Timnas Indonesia. Duh, koq tidak terbalik saja ya gawangnya, jadi kedudukannya bisa berbalik, dan angka dua jadi milik Indonesia.
Itu sudah kemarin, dan tidak perlu lah menangisi kekalahan Indonesia. Lebih baik kita berbesar hati, dengan tetap menjaga ‘prasangka’ bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang dengan besar hati mampu mengakui kekalahan. Tidak apa-apa kalah sekarang, semoga suatu saat nanti, (sekali lagi semoga) kita akan menang melawan Oman. Harapan yang benar-benar semoga, dan sungguh-sungguh semoga. Sebagai bangsa yang besar, nggak apa-apa lah sekali-kali kalah, dua kali pun tidak apa-apa. Kita bangsa yang besar, dan kekalahan tadi, sedikitpun tidak mengurangi kebesaran bangsa ini. Tenang saja, kita bangsa yang besar koq.
Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita, bagian dari bangsa ini, menunjukkan kecintaan, cinta secinta-cintanya. Yang anak-anak, gantungkan cita-cita setinggi langit. Yang belajar, belajar serajin-rajinnya. Yang bekerja, bekerja sekeras-kerasnya. Yang tentara, bela dan lindungi bangsa ini dari musuh-musuh, sesungguh-sungguhnya. Yang pejabat, layani dan jalankan bangsa ini sebaik-baiknya. Yang pemain bola, bermainlah sebaik-baiknya. Yang supporter, dukunglah dengan cara sesportif-sportifnya. Semua dengan satu tujuan, menunjukkan cinta, dengan cara dan posisi masing-masing. Jangan rebutan, jangan saling sikut, biar tidak kelihatan rakus dan serakah. Bapak dan ibu guru kita waktu SD sudah mengajarkan, rakus dan serakah itu tidak baik.
Lha, ndilalah, kemarin, seorang supporter bola, masuk ke lapangan ketika pertandingan antara Indonesia vs Oman masih berlangsung. Hebohnya lagi, dia masuk ke lapangan, mengejar bola, menggiring, dan berusaha memasukkan bola ke gawang Oman, dan tidak masuk! Heboh, seheboh-hebohnya, sampai polisi rebutan menangkapnya. Banyak yang marah, semarah-marahnya. Beberapa supporter melemparinya dengan botol minuman saat digiring oleh polisi. Banyak yang menuding, mengatakan bahwa yang dilakukannya benar-benar memalukan bangsa Indonesia, tidak tahu aturan, nekat dan sebagainya. Mereka yang merasa mewakili supporter Indonesia merasa tercoreng dengan ulahnya.
Semiring apapun komentar orang, apa yang dilakukan oleh supporter tersebut hanya contoh lain dari ungkapan cinta. Secara prosedural, jelas salah, whong pertandingan belum selesai, dan menerobos masuk ke lapangan. Polisi juga sudah sewajarnya rebutan untuk meringkusnya. Kalau perlu memberi sedikit ‘training’ seperlunya agar mau mematuhi prosedur. Tapi, ketika dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya murni ungkapan cinta kepada Timnas Indonesia, meskipun dalam bentuk dan tindakan yang menyalahi prosedur, apa iya kita mau menyalahkan itu? Anda juga sepakat kalau cinta itu buta, kan? Dan si buta, sah-sah saja nabrak-nabrak, kecuali si buta dari gua hantu, karena akan dimarahi sutradara.