Feeds:
Posts
Comments

Mas Hari

Meskipun saat berangkat kami harus terhambat karena operasi lalu lintas dari kepolisian, akhirnya kami sampai juga ke rumah duka Ibu Mas Hari. Seumur-umur, baru kali ini saya dan tetangga-tetangga yang lain tahu dari mana Mas Hari berasal. Elok, karena saat ini, daerah tersebut sangat-sangat ramai. Hanya berjarak beberapa ratus meter dari stadion, dua puluhan meter dari lampu merah. Dan lalu lintas di depan rumah orang tua Mas Hari sangat-sangat ramai. Di sebelah kanan rumah, ada restoran yang wah banget. Di sebelah kirinya, ada klinik perawatan kecantikan yang juga wah banget. Di seberang jalan depan rumah, ada asrama mahasiswa dari salah satu propinsi di luar jawa. Sulit dipercaya, bahwa dulunya daerah itu masih kebun tebu, dan jauh dari keramaian, kata Mas Hari.

Mas Hari menyambut kami dengan sumringah. Mungkin karena tidak menyangka, kami datang jauh-jauh untuk melayat. Segera setelah melayani kami dengan semestinya sebagaimana pelayat lain, beliau kembali duduk di lingkaran kami, menceritakan masa kecilnya di daerah ini. Konon, dulu orang tuanya membeli tanah di daerah tersebut dengan harga yang sangat murah, dan sekarang, tanah di daerah tersebut harganya sangat mahal. Apalagi tanah itu di pinggir jalan, dekat dengan stadion dan hanya dua puluhan meter dari perempatan.

Ketika Mas Hari sedang menyambut pelayat lain yang baru datang, Saya dengan pak RT berjalan melihat-lihat sekitar. Memang, rumah orang tua Mas Hari ini bener-bener ‘outstanding’ menurut saya. Diantara bangunan-bangunan elit lainnya, rumah ini seperti nyempil dengan segala kesederhanaannya. Bangunannya pun masih semi permanen. Batu bata di bawah, papan kayu pada bagian atasnya. Reng dari bambu, dan sudah mulai lapuk dimakan usia. Usuknya dari pohon kelapa. Beberapa usuk sudah mulai thothoren. Di beberapa bagian, plesteran temboknya mengelupas karena umur, memperlihatkan potongan-potongan bata merah.

“Wah, bener-bener elok nggih, Den.” Kata Pak RT.

“Elok bagaimana, Pak RT?” Tanya saya tidak paham.

“Rumah ini, nilainya itu milyaran lho.”

Saya kaget, agak shock tepatnya. Saya, yang sampai hari ini belum pernah beli tanah (dan belum pernah jual tanah juga), tidak bisa membayangkan juga tidak sampai kepikiran kalau nilai rumah orang tua Mas Hari tersebut nilainya bisa milyaran. Apalagi saat itu kami sedang melayat.

“Masa sih, Pak RT?”

“Iya, bener.”

Pak RT kemudian bercerita, bahwa saat ini, nilai properti di Indonesia mulai bergerak seperti trend di Negara-negara maju. Setiap tahun nilainya naik signifikan. Kalau sekarang beli tanah dengan harga 1 juta per meter2, tahun depan harganya bisa 1,5 juta per meter2. Kenaikannya pun bervariasi, tergantung banyak hal. Bisa karena lokasinya strategis, seperti milik orang tua Mas Hari tersebut, bisa juga karena lokasinya dekat dengan kampus, mall, rumah sakit, pusat perkantoran dan sebagainya.

“Lha terus, kalau lokasinya seperti di kampung kita, Pak?” Tanya saya penasaran.

“Kalau di kampung kita, ada yang beli juga sudah bagus, Den. Hahaha…” Jawab Pak RT lugas.

Kami tertawa bersama, menertawakan diri kami sendiri yang hanya bisa tinggal di desa.

“Anak-anak muda sekarang, kalau sudah punya jalan rejeki dan tempat tinggal di kota, mana mau kembali ke desa. Nggak prospektif secara ekonomi. Makanya, nilai properteinya juga tidak seberapa.” Lanjut Pak RT.

Saya hanya manggut-manggut saja. Lalu ingat dengan beberapa teman SD saya dulu. Ridwan sekarang tinggal di Jakarta, Muin juga, Nas juga. Setelah ke Jakarta beberapa puluh tahun yang lalu, mereka menikah, hidup, tinggal dan beranak pinak di sana. Hanya kembali saat lebaran saja. Tiba-tiba saja saya membayangkan bisa jadi mereka juga seperti orang tua Mas Hari, memiliki properti dengan nilai milyaran juga. Wah, jan, elok tenan.

Kami berdua kembali ke rombongan, ditemani Mas Hari ngobrol ngalor ngidul. Saat menemani kami ngobrol, beliau kelihatan sumringah betul. Sesekali beliau berdiri meninggalkan kami untuk menyambut pelayat yang baru datang. Juga saat dipamiti. Kadang-kadang, beberapa pelayat yang dekat dengan orang tua Mas Hari disambut dengan lebih lama.

Saya sendiri, dengan Pak RT masih mengobrol tetang harga tanah yang makin lama makin tinggi, dan makin tidak terjangkau bagi masyarakat bawah. Saya jadi paham, mengapa Mas Hari, saat pensiun memutuskan untuk tinggal di desa. Bisa jadi harga tanah di kota sudah tak terjangkau lagi oleh pensiunan seperti Mas Hari. Bisa jadi juga, dulu, saat belum pensiun Mas Hari sudah menabung untuk membeli rumah, namun dengan harga tanah yang selalu naik dan naik, tabungan yang terus bertambah itu bisa saja malah makin banyak kurangnya, sehingga sampai pensiun pun, Mas Hari juga belum mampu beli rumah.

Setelah dirasa cukup, akhirnya kami pamitan dengan keluarga Mas Hari. Dan selayaknya orang melayat, Pak RT juga menyampaikan semoga almarhumah ibu Mas Hari dijemput dengan husnul khotimah dan keluarga yang ditinggal diberi ketabahan. Mas Hari dan keluarga menyalami kami satu persatu, tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih atas doa dan kedatangan kami yang datang jauh-jauh dari kampung.

Beberapa bulan kemudian…

Beberapa hari terakhir, saya sering melihat MPV putih dan silver model terbaru seliweran di jalan saat leyeh-leyeh di mushola depan rumah. Dari desas desus yang beredar, itu mobil anak-anak Mas Hari, yang dibelikan dari bagian warisan yang nilainya milyaran. Saat saya bertemu dengan Pak RT, beliau menceritakan kalau rumah mendiang orang tua Mas Hari laku terjual 11,2 milyar. Mas Hari dan 3 saudaranya yang lain masing-masing mendapatkan 2.8 M.

Wah, jan, elok tenan

Koran. Saya tidak tahu kapan terakhir membaca koran. Namun, sabtu sore kemarin, seorang teman membawa koran Seputar Indonesia, edisi rabu, 24 maret 2010. Kadaluarsa, batin saya. Lebih-lebih ketika akses berita sudah bisa dibaca dengan perangkat-perangkat mobile. Namun tak urung, koran itu saya baca juga, dibolak balik, lembar demi lembar dan tetap merasa aneh.

Ndilalah, saya termasuk tipe orang yang alergi dengan berita, terutama berita-berita politik. Di reader, saya hanya berlangganan tiga jenis berita, yakni otomotif, olah raga dan teknologi informasi. Karena itulah saya tidak tahu bencana apa yang sedang trend bulan ini, atau bagaimana perkembangan penumpasan ‘teroris’ di Indonesia, atau pejabat yang konangan (ketahuan) ketitipan uang negara. Bahkan ketika ada guyonan yang menyebutkan kata Dulmatin saat meeting di kantor, saya tidak tahu mengapa semua tertawa dan baru tahu dua hari kemudian diberitahu oleh teman yang menjadi ‘pengamat’ televisi.

Ketika terjadi bom di Marriott kurang lebih setahun yang lalu,  dan semua media televisi berulang-ulang memberitakan berita yang sama, video yang sama, orang yang sama, topik yang sama, saya merasa biasa-biasa saja. Saya tidak punya alasan untuk merasa khawatir atau takut yang disebabkan oleh ledakan bom tersebut. Saat itu saya di  Aceh, dan bom di Jakarta. Saya yakin haqqul yaqin (yakin seyakin-yakinnya) bahwa sehebat apapun bom itu, serpihan terjauhnya tidak akan sampai di Aceh. Saya jamin secara nalar fisika yang masuk akal. Saat itu, saya hanya menulis Tepo Seliro yang Morak-Marik, sebagai bentuk keprihatinan seorang warga negara. Selanjutnya, hidup berjalan normal seperti biasanya, dan memilih untuk menghindari semua berita yang berhubungan dengan bom Marriott. Juga tidak tertarik untuk mengetahui siapa dalang dibalik peristiwa itu.

Ketika ramai-ramainya kasus Century, saya menghapus berita-berita seputar berita ekonomi dan keuangan dari reader. Membaca berita-berita otomotif dan olah raga, yang relatif bersih dari hiruk pikuk pemberitaan lebih menarik bagi saya.

Namun, sore ketika membaca koran tersebut, akhirnya saya membaca juga berita yang akhirnya membawa pada kondisi yang selama ini berusaha saya hindari, yakni syak wasangka, dzon serta prasangka. Berita itu saya baca lagi, berharap ada kata-kata yang lebih menjernihkan supaya dzon tadi bisa berkurang. Saya khawatir prasangka tersebut adalah prasangka yang salah.

Koran hanya tetap koran, berita hanya tetap berita, kabar yang diceritakan oleh orang lain, yang berkemungkinan untuk salah. Berapa persen kebenaran yang dibawa oleh sebuah berita, tidak pernah ada yang tahu. Etika jurnalistik menurut saya hanya sebatas etika dan pastinya ada yang menjalankan, dan ada pula yang tidak. Berita mana yang ditulis dengan etika dan mana yang tidak, saya tidak pernah tahu.

Waba’du. Saat ini, berita dengan segala bentuk dan format media semakin mudah dikonsumsi. Tidak ada yang tahu kebenaran dibaliknya, kecuali Tuhan, pembuat berita, dan pelaku itu sendiri. Tanpa sadar, kita sedang dibentuk menjadi manusia-manusia yang mudah berprasangka, sehingga adakalanya merasa berhak atas stempel kebenaran dan kesalahan setelah mengkonsumsi sebuah berita. Jari telunjuk kita juga sering kali terangkat dan menunjuk sambil berkata seolah-olah mewakili kebenaran, si A begini, si B begitu, si C anu dengan si D dan seterusnya. Padahal kita tidak tahu yang sebenarnya. Wallahu a’lam bishshowab.

Yogyakarta, 27 March 2010 16:46

Pengantar Selingkuh

Blogger datang dan pergi.

Blogger datang, menulis, memeras inspirasi untuk eksis dalam hiruk pikuk blog. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, akhirnya satu tahun, dua tahun dan seterusnya. Beberapa kemudian pergi, tidak kembali. Mungkin kehabisan inspirasi setelah diperas habis-habisan untuk ditulis. Beberapa terus terus eksis, seperti tidak pernah kehabisan inspirasi, seperti sumur dengan sumber air yang seolah tidak pernah habis ditimba, keluar dan keluar terus menerus menghasilkan tulisan.

Peristiwa demi peristiwa datang silih berganti, ditulis, dikomentari, dikritik, didukung, diperjuangkan blogger dalam kata-kata, dengan persepsi masing-masing. Ada yang netral, ada yang mengikuti pasar, ada yang seia sekata, ada yang menerobos pagar dan melawan, ada yang obyektif, ada yang subyektif. Semua ditulis sesuai dengan pemahaman dan kata hati.

Blogger datang dan pergi.

Berkunjung, berkomentar, meninggalkan jejak, membangun hubungan dan silaturrahim sesama blogger, saling membantu, tepo seliro, anggah ungguh, sopan santun dibangun dan dijunjung. Artikel ditulis, jejak ditinggalkan, dikunjungi, dikomentari, dan terciptalah simpul unik silaturrahim. Saling memberi dan saling berbagi, berbagi ilmu mencipta wawasan.

Blogger datang dan pergi.

Satu blog tidak cukup. Ditambah lagi, lalu tambah lagi, dan tambah lagi. Satu dot com, dua dot com dan bertambah lagi dot com dot com yang lain. Domain dan hosting dibeli. Semua dengan jejak, penunjuk arah dan peta, jalan dan link agar mudah dikunjungi.

Blogger datang dan pergi.

Saat datang apakah kita peduli? Saat pergi apakah kita peduli? Blogger datang dan pergi. Hari ini datang, apakah juga akan pergi?

Ditulis sebagai pengantar dan pembuka jalan menuju blog baru, http://butirpasirku.wordpress.com

Hiatus, vakum, inactive, cuti dan entah apa lagi. Sudah sekian lama waktu, saya tidak aktif dari dunia blog. Tidak menulis, tidak blog walking, dan tidak komen di mana-mana. Semuanya berhenti, meskipun masih ada satu dua nafas kehidupan di blog ini. Satu bulan sekali, saya mencoba untuk memberi nafas kehidupan pada blog ini, dengan menulis apa adanya.

Satu persatu, pengunjung yang dulu sering memberi komentar di sini, mulai hilang. Tapi backlink yang dan jejak yang dulu saya tinggalkan di blog-blog yang pernah saya kunjungi, masih menghasilkan kunjungan, setidaknya satu dua kunjungan. Memang resiko, bahwa blog tanpa blog walking seperti makan tanpa lauk, seperti event tanpa publishing, seperti produk tanpa iklan, dan pastinya akan sepi dari hiruk pikuk dan hingar bingar perblogan.

Lalu kenapa harus membuat blog lagi? Entahlah, mungkin sekedar tajdid an-niyah, memberparui niat. Setidaknya, dengan blog baru saya menghasilkan moment dan niat baru untuk menulis. Terlebih, ketika ketika saya ingin menulis, sering saya merasa tidak sreg untuk dipublish di sini. Blog yang pada mulanya saya isi dengan artikel-artikel teknologi informasi, telah bergeser pada tema-tema yang lebih sederhana dan mudah dipahami, dan menjadi personal blog yang bersifat umum.

Artikel-artikel yang saya publish di http://butirpasirku.wordpress.com berbeda dengan blog ini. Beberapa artikel saya boyong dari sini, terutama artikel-artikel lama yang berhubungan dengan teknologi informasi. Teknologi informasi? Ya, http://butirpasirku.wordpress.commemang saya buat untuk mempublish uneg-uneg seputar kehidupan dan pekerjaan sehari-hari, terutama yang berhubungan dengan dunia IT dan tidak mungkin dipublish di sini. Dunia IT memang segmented, dan tidak umum. Karenanya, saya merasa perlu untuk memisahkannya dari sini, agar blog ini, tetap dengan tulisan-tulisan sederhana yang mudah dipahami.

Wa ba’du. Saya tidak tahu apakah bisa konsisten menulis atau tidak. Tapi, saya tetap ingin menulis disela-sela perasaan malas, diantara pekerjaan dan hidup yang terus berjalan. Setidaknya sebulan sekali, dua bulan sekali, atau bahkan setahun sekali, saya akan mengupdate blog ini.

Buku: Lukisan Kaligrafi

lukisan kaligrafi gus mus“Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak masalah. Ini tidak. Pengajian-pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsung keliar lagi kuping kiri. Tak membekas. Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil; yang hatinya kejam ya tetap kejam; yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih terus berkelahi; yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi peka; yang suka menang-menangan ya tidak insyaf. Pendek kata seolah-olah kita tidak ada korelasi antara pengajian dengan mental mereka yang diberi pengajian.” Cerpen Amplop-amplop Abu-abu (halaman belakang buku).

Saya sudah lupa, kapan persisnya membeli buku ini. Tapi, dari sekian banyak buku yang pernah saya baca, buku ini memberikan kesan yang dalam. Ini buku Gus Mus pertama saya, dan setelah membaca buku ini, sebagaimana buku-buku Pramoedya, saya mulai berburu buku-buku karya Gus Mus yang lain.

Buku ini adalah kumpulan cerpen Gus Mus yang tesebar di beberapa media tanah air dan diterbitkan oleh kompas. Total semua ada 15 cerpen. Dari semua cerpen tersebut, ada empat cerpen yang belum pernah dipublikasikan di media. Berikut ini kelima belas judul cerpen yang ada dalam buku ini:

  1. Gus Jakfar, Kompas, 23 Juni 2002
  2. Gus Muslih, Suara Merdeka, 5 Januari 2003
  3. Amplop-amplop Abu-abu, belum pernah dipublikasikan
  4. Bidadari itu Dibawa Jibril, Media Indonesia, 9 maret 2003
  5. Ning Ummi, belum pernah dipublikasikan
  6. Iseng, belum pernah dipublikasikan
  7. Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi, Jawa Pos, 1 Desember 2002
  8. Lukisan Kaligrafi, Kompas, 24 November 2002
  9. Kang Amin, Jawa Pos, 21 Juli 2002
  10. Kang Kasanun, Jawa Pos, 6 Oktober 2002
  11. Ndara Mat Amit, belum pernah dipublikasikan
  12. Mbah Sidiq, Suara Merdeka, 10 November 2002
  13. Mubalig Kondang, Media Indonesia, 27 Oktober 2002
  14. Ngelmu Sigar Raga, Media Indonesia, 6 Juli 2003
  15. Mbok Yem, Jawa Pos, 27 April 2003

Bagi saya, membaca tulisannya Gus Mus adalah pengalaman membaca yang relative baru, terutama cerpen-cerpennya. Gus Mus bercerita dengan sederhana, dan rendah hati, dua hal yang jarang saya temui pada penulis-penulis tanah air. Bisa jadi, kesan ini disebabkan subyektifitas saya, karena saya mengenal Gus Mus sebagai kiai.

Seperti halnya cara bertutur cerita, tokoh-tokoh dalam buku ini juga diceritakan dan diciptakan oleh Gus Mus dengan sederhana, dan rendah hati. Ada Gus Jakfar, yang karena kelebihannya, bisa ma’rifat, tahu sebelum kejadian. Berikut saya cuplikkan dari cerpen yang berjudul Gus Jakfar:

“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. “Saya sendiri tidak paham apa maksudnya.”

“Kang Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan koq sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”

Di cerpen yang berjudul Amplop-amplop Abu-abu, yang menceritakan tentang kehidupan seorang mubalig, ada sebuah cuplikan unik yang, menurut saya, sangat alami nan sederhana:

“Masih kau simpan?” kataku kaget campur gembira. “Jadi semuanya masih utuh? Berarti semuanya ada satu juta rupiah?”

“Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang itu. Rasanya sayang; uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan dibawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar istriku sambil beranjak ke kamarnya, mau mengambil yang yang disimpannya.

Seorang penulis, biasanya akan membawa potongan kisah hidupnya dalam dunia nyata dalam salah satu tulisannya. Dalam cerpen Iseng, misalnya, Gus Mus menyelipkan cerita cinta ketika masih kuliah di Al-Azhar Cairo.

“Kau menyukaiku, ya?” tiba-tiba suaranya yang biasa menyambarku. Ah, bagaimana dia bisa mengucapkan pertanyaan begitu dengan nada yang sama sekali biasa. Luar biasa! Seketika aku kembali gugup. Namun kemudian aku beranikan diri menjawab meski dengan suara parau, “Ya, sejak lama.” Dan hampir aku tidak percaya, dia mengulurkan tangannya yang lembut dan menggenggam tanganku, sementara mata dan bibirnya tersenyum manis sekali. “Terimakasih ya, Mus!” katanya masih dengan nada biasa. Aku memejamkan mata, merasakan kebabahagiaan yang tiada tara.

Waba’du. Ada banyak hikmah yang terselip dalam cerpen-cerpen di buku ini, namun cara bertutur Gus Mus yang sederhana, ditambah humor-humor ala pesantren, membuat hikmah dalam cerpen ini meresap alami tanpa merasa digurui. Wallahu a’lam.

Si Buta Mengungkap Cinta

Mari tidak memperdebatkan bagaimana sebaiknya cinta itu diungkapkan. Tidak penting, plus tidak akan ada habisnya. Sudah tidak penting, tidak ada habisnya lagi. Terus buat apa diperdebatkan? Cinta itu ya cinta, titik!

Kemarin, saya menonton pertandingan Timnas Indonesia vs Timnas Oman. Tidak full time memang, karena saya hanya menonton 45 menit kedua. Satu gol tercipta, sayangnya yang kebobolan adalah Timnas Indonesia. Duh, koq tidak terbalik saja ya gawangnya, jadi kedudukannya bisa berbalik, dan angka dua jadi milik Indonesia.

Itu sudah kemarin, dan tidak perlu lah menangisi kekalahan Indonesia. Lebih baik kita berbesar hati, dengan tetap menjaga ‘prasangka’ bahwa kita adalah bangsa yang besar, yang dengan besar hati mampu mengakui kekalahan. Tidak apa-apa kalah sekarang, semoga suatu saat nanti, (sekali lagi semoga) kita akan menang melawan Oman. Harapan yang benar-benar semoga, dan sungguh-sungguh semoga. Sebagai bangsa yang besar, nggak apa-apa lah sekali-kali kalah, dua kali pun tidak apa-apa. Kita bangsa yang besar, dan kekalahan tadi, sedikitpun tidak mengurangi kebesaran bangsa ini. Tenang saja, kita bangsa yang besar koq.

Sebagai bangsa yang besar, sudah sepantasnya kita, bagian dari bangsa ini, menunjukkan kecintaan, cinta secinta-cintanya. Yang anak-anak, gantungkan cita-cita setinggi langit. Yang belajar, belajar serajin-rajinnya. Yang bekerja, bekerja sekeras-kerasnya. Yang tentara, bela dan lindungi bangsa ini dari musuh-musuh, sesungguh-sungguhnya. Yang pejabat, layani dan jalankan bangsa ini sebaik-baiknya. Yang pemain bola, bermainlah sebaik-baiknya. Yang supporter, dukunglah dengan cara sesportif-sportifnya. Semua dengan satu tujuan, menunjukkan cinta, dengan cara dan posisi masing-masing. Jangan rebutan, jangan saling sikut, biar tidak kelihatan rakus dan serakah. Bapak dan ibu guru kita waktu SD sudah mengajarkan, rakus dan serakah itu tidak baik.

Lha, ndilalah, kemarin, seorang supporter bola, masuk ke lapangan ketika pertandingan antara Indonesia vs Oman masih berlangsung. Hebohnya lagi, dia masuk ke lapangan, mengejar bola, menggiring, dan berusaha memasukkan bola ke gawang Oman, dan tidak masuk! Heboh, seheboh-hebohnya, sampai polisi rebutan menangkapnya. Banyak yang marah, semarah-marahnya. Beberapa supporter melemparinya dengan botol minuman saat digiring oleh polisi. Banyak yang menuding, mengatakan bahwa yang dilakukannya benar-benar memalukan bangsa Indonesia, tidak tahu aturan, nekat dan sebagainya. Mereka yang merasa mewakili supporter Indonesia merasa tercoreng dengan ulahnya.

Semiring apapun komentar orang, apa yang dilakukan oleh supporter tersebut hanya contoh lain dari ungkapan cinta. Secara prosedural, jelas salah, whong pertandingan belum selesai, dan menerobos masuk ke lapangan. Polisi juga sudah sewajarnya rebutan untuk meringkusnya. Kalau perlu memberi sedikit ‘training’ seperlunya agar mau mematuhi prosedur. Tapi, ketika dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya murni ungkapan cinta kepada Timnas Indonesia, meskipun dalam bentuk dan tindakan yang menyalahi prosedur, apa iya kita mau menyalahkan itu? Anda juga sepakat kalau cinta itu buta, kan? Dan si buta, sah-sah saja nabrak-nabrak, kecuali si buta dari gua hantu, karena akan dimarahi sutradara.

Critique (1)

“Lagakmu, Duuul, Dul!”

“Lagak? Lagak gimana?”

“Lha iya, ngguaya, suuuok. Mbok yang biasa saja. “

“Sebentar, sebentar. Ini ada apa? Koq tiba-tiba saya dituduh suuuok, ngguuuaya. Apa selama ini saya kurang biasa?”

“Lho? Jadi selama ini kamu nggak merasa, kalau kamu itu sok?”

Masih bingung.

“Sek to Jo… kamu itu kenapa to? Dosa saya itu apa?”

“Blogmu itu lho.”

Blog???

“Blogku kenapa? Perasaan nggak ada yang salah. Aku nulis sekedar nulis. Nggak bawa misi apa-apa.”

“Kecuali misi suok dan ngguuuayamu itu tadi.”

WHAT??? Misi sok dan misi nggaya? (masih shock).

“OK, fine. Sekarang saya punya hak kan untuk nanya dimana letak ke-sok-an dan ke-nggaya-anku via blog.”

“Pertama. Kamu itu sok penikmat sastra. Kamu mencatut namanya Pak Kayam, Arswendo, Pak To (Ahmad Tohari), Suparto Brata, Pramoedya, Rama Mangun dan lain-lain. Dan ini lagi yang paling parah. Ceritamu tentang Mas Ndoro itu sok juga toh? Apa itu? Hanya plagiat. Plagiat Pak Ageng-nya Pak Kayam toh? Baru berapa tulisan saja koq kamu sudah ngguaya.”

“Lha terus harusnya gimana, Jo?”

“Aku gak boleh mencatut nama-nama itu untuk aku cantumkan di tulisan2ku?”

“Kalau aku nulis review buku mereka aku tidak boleh mencantumkan nama mereka?”

“Terus, cerita Mas Ndoro itu harusnya seperti apa?”

“Harus otentik?”

“Harus tidak seperti cerita Pak Agengnya Pak Kayam?”

“Harus orisinil?”

“Bukan plagiat?”

“Kamu kasih tahu donk, Jo!”

“Kasih masukan!”

“Jangan hanya protes!”

Jo mengambil kertas, menulis alamat blognya.

“Nih, lihat disini.”

Jo langsung berdiri,

“Aku pulang,” katanya

Baru tiga langkah, tiba-tiba balik lagi.

“Ada apa?”

“Kopiku belum habis.”

Ealah…

.

Epilog:

Isi blognya membuat saya menarik nafas dalam-dalam. Sebuah blog dengan design menarik, bertuliskan UNDER CONSTRUCTION.

Bersambung

.

*Dul, panggilan seorang teman untuk saya

*Jo, panggilan saya untuk seorang teman yang memanggil saya Dul

Canting Saja Tidak Cukup

canting arswendo bukuNdalem Ngabean Sestrokusuman tampak sunyi, sewaktu matahari menumpahkan sisa-sisa suryanya yang kuning sore lewat daun-daun pohon sawo kecik. Ndalem Ngabean Sestrokusuman, sebutan untuk rumah luas yang dibentengi tembok tebal kediaman Raden Ngabehi Sestrokusuman, tidak biasanya sepi seperti ini. Tidak pernah halaman samping pendapa yang begitu luas sunyi dari anak-anak kecil bermain atau bunyi sapu lidi membersihkan. Tak pernah bagian gandhok, disamping ruang utama yang membujur ke belakang jauh sekali, begitu kosong dari tarikan nafas. Di gandhok itu, biasanya ada 112 buruh batik, sepuluh di antaranya tukang cap, yang bekerja sejak pagi hari sampai sore hari. Diseling istirahat yang tak lama, lalu dilanjutkan sekitar separonya yang bekerja lembur.

Novel ini menjawa dengan sendirinya, tanpa harus memaksakan settingnya. Pohon sawo kecik, Ndalem Ngabean Sestrokusuman, gandhok, pendapa, batik. Baru paragraph pertama, dan Arswendo sudah memberi pesan, bahwa dia akan bercerita sesuatu tentang sebuah keluarga dengan tradisi Jawa yang kuat. Mengalir begitu saja, apa adanya.

Perhatikan cuplikan tentang pasar Klewer berikut ini, tempat Bu Bei berjualan.

Pasar

Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dari suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi direktur, manajer, pelaksana yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang tak disukai, sampai dengan memilih Yu Tun dan Yu Mi. kedaunya masih gadis, sedang tumbuh, bisa tersenyum dan berhitung, dan tak memberengut kalau digoda. Namun, syarat yang paling penting, pembantu di pasar tak ubahnya sekretaris. Makin kuat kemampuannya untuk menyimpan rahasia, makin panjang usia kerjanya. Makin menunjukkan kekuatan spons yang menyerap liku-liku pergunjungan yang ada, makin kuat pula kedudukannya.

Tokoh-tokohnya? Perhatikan nama-nama tokoh dalam cuplikan dialog yang merangkum nama-nama tokohnya,

“Saya tahu. Soal Wahyu, kan? Kamu ini lebih mementingkan Wahyu daripada adik-adiknya. Ada Lintang, ada Ismaya, ada Bayu, ada Wening, koq hanya Wahyu yang dipikirkan.”

Arswendo juga tanpa beban menciptakan tokoh pembantu seperti Mijin. Diceritakan dengan tanpa tedeng aling-aling, sederhana, apa adanya, lugas.

Mijin kawin dengan salah seorang pembatik ketika wahyu masuk sekolah. Menjelang kawin, Mijin baru disunatkan. Selama ini ternyata terlupakan. Tak ada yang memikirkan Mijin – tak ada juga ketika orangtuanya masih hidup. Sekali lagi Mijin menjadi bahan guyonan yang tak ada habisnya ketika disunat.

Lalu menyambung dengan komentar Mijin tentang sunatnya,

“Sakit sekali kalau bangun pagi. Pokoknya aku tak mau lagi sunat lagi seumur hidup.”

Ada potongan cerita menarik, ketika Ni baru pulang dari Semarang, lalu naik becak dari terminal menuju rumah. Berikut cuplikan dialognya,

“Ke Njeron Benteng, pak.”

Mangga…”

“Berapa, Pak?”

“Sudah berapa saja, mangga…”

“Lima ratus?”

Penarik becak itu tersenyum. Ramah dan tetap menghormat.

Ni tak ingin bertengkar dengan penarik becak nantinya. Makanya ia memastikan ongkosnya.

“Enam ratus… mangga…”

“Kalau mau lima ratus, kalau tidak ya sudah.”

Penarik becak itu tersenyum lagi.

“Kalau tega memberi lima ratus… ya mangga…”

Ni mati kutu.

Ketika Arswendo menyisipkan cerita tentang kuliner tradisional Jawa masa lampau karena kematian Bu Bei, ini seperti nostalgia, batin saya.

Mbok Tuwuh, yang seakan telah kering cairan tubuhnya, menangis ketika menyiapkan sega asahan, nasi putih biasa. Dengan lauk-pauk sambal goreng, bakmi goreng, bihun goreng, semur buncis, irisan telur dadar, perkedel, rempeyek, kerupuk – masing-masing dalam sudi, tempat yang dibuat dari daun pusang setengah lingkaran. Juga ketika menyiapkan sega wuduk, nasi putih gurih dengan lauk-pauk yang sama, ditambah dengan ingkung, ayam utuh yang dimasak santan.

Novel ini bercerita tentang Ni, seorang sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean, yang mencoba menekuni usaha batik orang tuanya. Dalam perjalanannya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Dia harus berhadapan dengan Pak Bei, bapaknya, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses. Ni, yang bertahan dengan batik canting, harus berhadapan dengan batik printing. Setiap nyawa pola, hembusan nafas pada canting, terbanting begitu saja dengan pergeseran proses batik.

Pada akhirnya, memang harus ada kompromi, dengan Himawan, calon suaminya, dengan canting, dengan saudara-saudaranya, dengan buruh-buruhnya, juga  dengan skandal-skandal dalam keluarganya. Semua, diceritakan dengan cara Arswendo 🙂

Teknologi, pada dasarnya adalah pergeseran penggunaan. Teknologi email menggeser surat, teknologi ponsel menggeser telepon rumah, teknologi e-book menggeser kertas dan sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, selain menggeser, juga mengganti, meskipun tidak sepenuhnya. Surat, misalnya, masih tetap digunakan, meskipun sudah ada email. Telepon rumah juga masih belum tergantikan sebagai syarat apply kartu kredit salah satu bank meskipun sudah ada ponsel. Dan toko buku Gramedia, tetap masih menjalankan bisnisnya dengan baik meskipun di internet bertebaran buku-buku elektronik. Itulah mengapa, kata menggeser lebih tepat dari pada mengganti.

Buku digital, e-book, dengan fungsi yang sama dengan buku, juga menggeser keberadaan buku biasa. Untuk materi-materi tertentu, saya lebih suka membaca ebook dari pada buku biasa. Tapi untuk materi yang lain, ternyata saya lebih memilih membeli untuk membaca, meskipun di komputer ada ebook dengan isi yang sama.

Pilihan buku pun berkembang, dari buku untuk dibaca di rumah, buku untuk dibaca saat perjalanan, buku untuk dibaca di kursi, bahkan buku untuk dibaca saat menjelang tidur di tempat tidur. Kenapa harus dibeda-bedakan? Continue Reading »

Hiatus Sehiatus-hiatusnya

negeri 5 menaraTernyata, mencari bukunya Suparto Brata di Jakarta cukup susah. Setelah di Gramedia Matraman tidak menemukan, saya coba jalan2 di Kwitang, dan ternyata tidak menemukan juga. Hmmm… belum beruntung, mungkin nanti kalau pas di Jogja saja, saya cari lagi. Akhirnya saya kembali lagi ke Gramedia Matraman karena di Kwitang panas, takut dehidrasi hingga akhirnya mokel 😀 . Karena sudah ngeblank buku yang saya cari tidak ketemu, terpaksa saya alihkan ke buku yang lain. Itung-itung mumpung turun gunung. Setelah bolak-balik, akhirnya saya mengantongi tiga buku, Canting-nya Arswendo, Mahabarata-nya Rajagopalchari, dan Negeri 5 Menara-nya A. Fadli. Baru saja hendak ke Kasir, pucuk di cinta ulam pun tiba, saya melihat ada Para Priyayi-nya Umar Kayam. Hohoho… bahkan buku ini di Jogja sudah tidak ada, dan sekarang malah ketemu di Jakarta. Benar-benar beruntung.

Sayangnya, lagi-lagi, dan biasanya memang seperti ini, Canting yang sempat saya bawa sampai ke Nias, dibawa oleh teman ke Jogja. Mahabarata, malah ketinggalan di Jakarta sebelum berangkat ke Nias, dan sekarang dibawa oleh teman, jadi belum sempat dibaca. Sepulangnya dari Nias, mampir lagi di Jakarta, gantian Para Priyayi, yang ketinggalan, padahal baru baca separo. Nasib oh nasib. Tinggal Negeri 5 Menara yang saya bawa sampai sekarang.

Sebenarnya, buku ini belum masuk list to read, karena masih penasaran novel bahasa jawanya Suparto Brata. Hanya saja,beberapa hal dalam buku ini akhirnya bisa menarik hati saya. Yang pertama, display novel ini sangat mencolok di Gramedia (ini alasan nggak seh? 😛 ). Kedua, Shige dan Uda Vizon sudah meresensinya. Ndoro Kakung juga meresensi. Berarti kan memang novel bagus (karena banyak yang meresensi???). Mumpung belum ada label best seller, beli aja dulu, jadi nanti kalau sudah ada label best seller, bisa cerita, kalau saya sudah baca sebelum jadi best seller (lagi-lagi alasan yang nggak masuk akal :p ). Ketiga, itung-itung nostalgia masa lalu, karena saya pernah ngenger nyantri di pesantren yang diceritakan dalam buku ini. Jadilah aktifitas membaca novel ini, seperti yang dialami oleh Uda Vizon yang juga pernah di sana, nostalgia masa lalu, dan selalu diiringi dengan senyuman-senyuman kecil karena mengingat apa yang diceritakan dalam buku ini, pernah saya alami juga. Dan yang terakhir, setting daerah asal tokohnya berasal dari Bukittinggi. Rasanya nggak enak dengan bundo nakjadimade kalau nggak baca buku ini :p . Bukittinggi adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi, entah kapan. Dalam bayangan saya, Bukittinggi, mirip dengan Jogja dan Aceh, tempat-tempat dengan identitas budaya yang sangat kental. Hmmm… Empat alasan yang entah masuk akal atau entah tidak :mrgreen:

Untuk resensinya, saya pikir tidak perlu saya tambahkan di sini, karena Shige sudah meresensi dengan bagus, juga resensi Uda Vizon dan resensi Ndoro Kakung. Intinya, buku yang inspiratif, mencerahkan, dan bagi saya pribadi, tentu saja, penuh dengan nostalgia masa lalu 🙂

Dulu Iya, Sekarang …

“Lho, lha koq nggak ada hujan, nggak ada petir, masih mongso ketigo, Mas Ndoro nonton pidio tari.”

Darmi muncul begitu saja, berdiri di samping saya ikut memperhatikan video Tari Pendet hasil download dari youtube.

“Memangnya kenapa? Nggak boleh?” Tanya saya, protes karena diprotes.

Tumben lho Mas Ndoro. Koq ndengaren. Biasanya juga nonton pilem inggris.”

Saya tersenyum, mengiyakan.

“Tari apa tho, itu, Mas Ndoro? Koq saya belum pernah lihat?”

Saya geser posisi laptop, supaya Darmi bisa melihat lebih jelas.

Saya perhatikan reaksi Darmi, wajahnya berubah menjadi serius, memperhatikan betul video Tari Pendet yang saya download dengan penuh perjuangan. Maklum, di Ngawi hanya tersedia koneksi GPRS.

“Darmi! Wajahmu itu lho, koq sampai curious begitu.”

“Heh? Nopo Mas Ndoro?” Masih tidak berpaling dari layar laptop.

Wah, rupanya benar-benar konsen batur saya ini, batin saya.

“Curious, curious.”

“Heh? Nopo?” Hanya itu, tidak paham, tidak memperhatikan apa yang saya katakan.

Masih serius, curious, full attention, khusyu dan sepertinya tidak terlalu konsen dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Begitu khusyunya, sampai tidak menoleh barang sedetik pun dari laptop. Agak heran juga saya dengan perilakunya. Tidak biasanya Darmi sedemikian seriusnya dengan sesuatu. Bahkan meja yang sedianya hendak dibersihkan batal dilakukan. Kemoceng masih ditangannya terdiam, tanpa aktifitas, mengikuti ritme kekhusukan tuannya.

“Heh, kamu itu lho…”

Tidak tahan juga saya melihat perilaku Darmi, seperti orang kesambet. Saya rebut kemoceng dari tangannya. Masih belum bergeming, tidak ada reaksi. Walah…

“ Saya dulu pernah belajar tari, lho, Mas Ndoro.”

“Ah, mosok?”

“Wah, njenengan itu dibilangin koq ndak percaya.”

Masih belum menoleh. Masih menatap laptop. Khusyu.

“Enggih. Waktu SD, yang ngajari Bu Guru Lestari.”

Masih belum menoleh. Masih khusyu.

“Dulu kan ada pertunjukan sendra tari untuk Agustusan.“

“Pas perpisahan waktu lulus SD saya juga tampil ikut nari.”

“Dulu rombongan. Saya, Yem, Ningsih, Wagimi, Sri, terus… Darsih. Nggih, Darsih itu. Yang sekarang kerja di Malaysia. Yang sekarang punya sawah sebahu. Yang rumahnya magrong-magrong.”

“Koq ponakan saya yang SD itu ndak diajari nggih, Mas Ndoro?”

“Dulu, kalau hari sabtu sore, di rumahnya Pak No juga ada latihan gamelan. Lek Sri Lulut itu juga latihan nari.”

“Tapi dulu, waktu saya masih kecil. Waktu masih ada tanggapan kethoprak. Waktu masih ada yang nanggap tari pas ada yang mantenan.”

“Sekarang ndak lagi. Ndak laku, Mas Ndoro. Ndak ada yang nanggap.”

“Sekarang kalau perpisahan SD ndak ada tari-tarian lagi. Agustusan juga ndak ada tari-tarian lagi.”

“Sekarang orang mantu, ndak nanggap tari lagi.”

“Sekarang yang begitu-begitu sudah ndak laku, Mas Ndoro. Sudah ketinggalan jaman.”

Darmi masih belum menoleh. Sampai video tari pendet berdurasi delapan menit itu selesai. Lalu meneruskan bersih-bersih meja tanpa reaksi, tanpa perubahan di wajahnya. Tidak merasa perlu mengetahui bahwa tarian yang baru saja ditontonnya sedang memicu rasa nasionalisme, menimbulkan demo di mana-mana, protes, caci maki, pembakaran bendera Negara tetangga. Bahkan, para seniman merasa perlu untuk menyuarakan pentingnya proteksi terhadap kekayaan budaya bangsa. Bahkan saya perlu hiatus dari blog karena malu tidak tahu mau menulis apa, untuk kemudian searching berhari-hari, mencari-cari pengetahuan tentang Tari Pendet, download video, membaca artikel berulang-ulang, karena saya memang buta sama sekali. Kalau kemudian sampai sekarang saya masih belum bisa menghayati dan memahami maknanya, dan memberanikan diri menulis lagi, itu karena merasa harus ikut cawe-cawe, merasa ikut bertanggung jawab, meskipun masih belum paham juga maknanya.

Tiba-tiba Darmi diam selama beberapa detik, kemudian menoleh ke arah saya, bertanya,

“Itu tadi tarian yang diributkan di tipi-tipi itu, nggih, Mas Ndoro?”

Saya kaget, tidak mungkin menjawab selain, “Iya.”

“Lha, enggih. Koq bisa nggih, orang-orang Malaysia itu belajar nari. Terus, umpamanya Tari Jaipong, Tari Gambyong, Tari Srimpi, Tari Bambangan Cakil, atau tari-tari yang lain itu dipelajari orang-orang sana, terus ditampilkan di sana bagaimana? Jangan-jangan nanti di sana ada ronggeng juga, seperti cerita simbok pas jaman PKI dulu. Terus ada wayang orang juga. Terus ada wayang kulit juga. Terus ada kethoprak juga. Terus wayang golek juga. Lha kalau misalnya Tari Bedaya Pangkur, atau Tari Bedaya Ketawang itu ditampilkan di sana, apa ndak gulung koming, nangis nggero-nggero para kanjeng sinuhun di keraton itu?”

Itu kata Darmi, batur saya, yang dulu pernah belajar nari dengan Bu Guru Lestari, yang dulu dengan rombongannya pernah menari untuk pesta kelulusan SD, yang dulu pernah tampil menari waktu Agustusan, yang dulu sering menonton latihan tari di rumahnya Pak No, yang dulu menyimak bagaimana Lek Sri Lulut latihan rutin setiap sabtu untuk tanggapan pesta pernikahan atau kethoprak, yang dulu…

Ya, yang dulu, yang dulu sekali. Sekarang tidak lagi.

(Ditulis dalam rangka turut prihatin atas plagiasi budaya)