Meskipun saat berangkat kami harus terhambat karena operasi lalu lintas dari kepolisian, akhirnya kami sampai juga ke rumah duka Ibu Mas Hari. Seumur-umur, baru kali ini saya dan tetangga-tetangga yang lain tahu dari mana Mas Hari berasal. Elok, karena saat ini, daerah tersebut sangat-sangat ramai. Hanya berjarak beberapa ratus meter dari stadion, dua puluhan meter dari lampu merah. Dan lalu lintas di depan rumah orang tua Mas Hari sangat-sangat ramai. Di sebelah kanan rumah, ada restoran yang wah banget. Di sebelah kirinya, ada klinik perawatan kecantikan yang juga wah banget. Di seberang jalan depan rumah, ada asrama mahasiswa dari salah satu propinsi di luar jawa. Sulit dipercaya, bahwa dulunya daerah itu masih kebun tebu, dan jauh dari keramaian, kata Mas Hari.
Mas Hari menyambut kami dengan sumringah. Mungkin karena tidak menyangka, kami datang jauh-jauh untuk melayat. Segera setelah melayani kami dengan semestinya sebagaimana pelayat lain, beliau kembali duduk di lingkaran kami, menceritakan masa kecilnya di daerah ini. Konon, dulu orang tuanya membeli tanah di daerah tersebut dengan harga yang sangat murah, dan sekarang, tanah di daerah tersebut harganya sangat mahal. Apalagi tanah itu di pinggir jalan, dekat dengan stadion dan hanya dua puluhan meter dari perempatan.
Ketika Mas Hari sedang menyambut pelayat lain yang baru datang, Saya dengan pak RT berjalan melihat-lihat sekitar. Memang, rumah orang tua Mas Hari ini bener-bener ‘outstanding’ menurut saya. Diantara bangunan-bangunan elit lainnya, rumah ini seperti nyempil dengan segala kesederhanaannya. Bangunannya pun masih semi permanen. Batu bata di bawah, papan kayu pada bagian atasnya. Reng dari bambu, dan sudah mulai lapuk dimakan usia. Usuknya dari pohon kelapa. Beberapa usuk sudah mulai thothoren. Di beberapa bagian, plesteran temboknya mengelupas karena umur, memperlihatkan potongan-potongan bata merah.
“Wah, bener-bener elok nggih, Den.” Kata Pak RT.
“Elok bagaimana, Pak RT?” Tanya saya tidak paham.
“Rumah ini, nilainya itu milyaran lho.”
Saya kaget, agak shock tepatnya. Saya, yang sampai hari ini belum pernah beli tanah (dan belum pernah jual tanah juga), tidak bisa membayangkan juga tidak sampai kepikiran kalau nilai rumah orang tua Mas Hari tersebut nilainya bisa milyaran. Apalagi saat itu kami sedang melayat.
“Masa sih, Pak RT?”
“Iya, bener.”
Pak RT kemudian bercerita, bahwa saat ini, nilai properti di Indonesia mulai bergerak seperti trend di Negara-negara maju. Setiap tahun nilainya naik signifikan. Kalau sekarang beli tanah dengan harga 1 juta per meter2, tahun depan harganya bisa 1,5 juta per meter2. Kenaikannya pun bervariasi, tergantung banyak hal. Bisa karena lokasinya strategis, seperti milik orang tua Mas Hari tersebut, bisa juga karena lokasinya dekat dengan kampus, mall, rumah sakit, pusat perkantoran dan sebagainya.
“Lha terus, kalau lokasinya seperti di kampung kita, Pak?” Tanya saya penasaran.
“Kalau di kampung kita, ada yang beli juga sudah bagus, Den. Hahaha…” Jawab Pak RT lugas.
Kami tertawa bersama, menertawakan diri kami sendiri yang hanya bisa tinggal di desa.
“Anak-anak muda sekarang, kalau sudah punya jalan rejeki dan tempat tinggal di kota, mana mau kembali ke desa. Nggak prospektif secara ekonomi. Makanya, nilai properteinya juga tidak seberapa.” Lanjut Pak RT.
Saya hanya manggut-manggut saja. Lalu ingat dengan beberapa teman SD saya dulu. Ridwan sekarang tinggal di Jakarta, Muin juga, Nas juga. Setelah ke Jakarta beberapa puluh tahun yang lalu, mereka menikah, hidup, tinggal dan beranak pinak di sana. Hanya kembali saat lebaran saja. Tiba-tiba saja saya membayangkan bisa jadi mereka juga seperti orang tua Mas Hari, memiliki properti dengan nilai milyaran juga. Wah, jan, elok tenan.
Kami berdua kembali ke rombongan, ditemani Mas Hari ngobrol ngalor ngidul. Saat menemani kami ngobrol, beliau kelihatan sumringah betul. Sesekali beliau berdiri meninggalkan kami untuk menyambut pelayat yang baru datang. Juga saat dipamiti. Kadang-kadang, beberapa pelayat yang dekat dengan orang tua Mas Hari disambut dengan lebih lama.
Saya sendiri, dengan Pak RT masih mengobrol tetang harga tanah yang makin lama makin tinggi, dan makin tidak terjangkau bagi masyarakat bawah. Saya jadi paham, mengapa Mas Hari, saat pensiun memutuskan untuk tinggal di desa. Bisa jadi harga tanah di kota sudah tak terjangkau lagi oleh pensiunan seperti Mas Hari. Bisa jadi juga, dulu, saat belum pensiun Mas Hari sudah menabung untuk membeli rumah, namun dengan harga tanah yang selalu naik dan naik, tabungan yang terus bertambah itu bisa saja malah makin banyak kurangnya, sehingga sampai pensiun pun, Mas Hari juga belum mampu beli rumah.
Setelah dirasa cukup, akhirnya kami pamitan dengan keluarga Mas Hari. Dan selayaknya orang melayat, Pak RT juga menyampaikan semoga almarhumah ibu Mas Hari dijemput dengan husnul khotimah dan keluarga yang ditinggal diberi ketabahan. Mas Hari dan keluarga menyalami kami satu persatu, tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih atas doa dan kedatangan kami yang datang jauh-jauh dari kampung.
Beberapa bulan kemudian…
Beberapa hari terakhir, saya sering melihat MPV putih dan silver model terbaru seliweran di jalan saat leyeh-leyeh di mushola depan rumah. Dari desas desus yang beredar, itu mobil anak-anak Mas Hari, yang dibelikan dari bagian warisan yang nilainya milyaran. Saat saya bertemu dengan Pak RT, beliau menceritakan kalau rumah mendiang orang tua Mas Hari laku terjual 11,2 milyar. Mas Hari dan 3 saudaranya yang lain masing-masing mendapatkan 2.8 M.
Wah, jan, elok tenan…